Blue Angel Wing Heart Essay Nasional HARI POHON SEDUNIA 2017 oleh ADY ARDANA ~ Ikatan Mahasiswa Pulp dan Kertas ITSB

aac

Ikatan Mahasiswa Pulp dan Kertas ITSB | IMPAS-ITSB | Integrity - Attitude - Ability

Essay Nasional HARI POHON SEDUNIA 2017 oleh ADY ARDANA


HUTAN DAN KEMAKMURAN RAKYAT
Karya ini disusun untuk Mengikuti Lomba Essay Nasional
HARI POHON SEDUNIA 2017

Disusun oleh :
ADY ARDANA

FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
HUTAN DAN KEMAKMURAN RAKYAT

Pada kenyataannya, mencermati bukti-bukti dan hasil penelitian mengenai tutupan lahan sebelum tahun 1900, Indonesia telah didesain sebagai negara berhutan[1] dan masyarakatnya telah (seharusnya) terbiasa hidup di hutan[2]. Negara berhutan yang dimaksud adalah negara dengan tutupan lahan hutan yang cukup luas dan hampir melingkupi seluruh wilayah daratan tanpa mengesampingkan ide-ide pembangunan modern, dengan demikian, interaksi masyarakat dan hutan merupakan interaksi keseharian. Pekerjaan, kesehatan, pangan, dan berbagai aktivitas manusia ada di dalam hutan, setidaknya berupa hutan kota.
Hari ini, sebagaimana lirik lagu karya Charles, ibu pertiwi sedang bersusah hati[3]. Hutan, gunung, sawah, lautan sebagai simpanan kekayaan ternyata tidak mampu membawa kesejahteraan kepada manusia Indonesia sebagaimana amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar. Penurunan kualitas lingkungan menjadi topik bahasan akademisi, jurnalis, politisi, sampai warga masyarakat. Pencemaran lingkungan, penebangan pohon, berlubangnya ozon di troposfer, sedimentasi, erosi, banjir, penurunan kualitas udara, air dan tanah, penurunan keanekaragaman hayati, pemanasan dan perubahan iklim global, hujan asam dan sebagainya, telah menjadi isu-isu yang sering diwartakan dan ditulis dalam berbagai publikasi, banyak yang menguak fakta, banyak juga yang hanya menjual asumsi-asumsi rapuh[4].
Hari ini, tidak sedikit masyarakat Indonesia melangsungkan hidup dan penghidupannya di lingkungan kotor, kumuh, dan penuh polutan. IKLH dalam buku terbitan KLH (2010), dengan mengukur kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan, menghasilkan data untuk setiap pulaunya, berturut-turut Sulawesi (77,21), Maluku & Papua (74,29), Bali & Nusa Tenggara (74,19), Sumatera (73,63), Kalimantan (64,02), dan Jawa (59,82).[5] Berdasarkan hasil tersebut, Pulau Jawa mengalami ketercemaran yang sangat buruk. Dari ketiga parameter yang diukur, pencemaran air sungai adalah masalah lingkungan paling utama di setiap provinsi.
Hari ini, masyarakat dan berbagai lembaga mulai beraksi. Salah satu fakta menarik adalah demo di Balai Kota DKI oleh para nelayan yang menyoroti pencemaran air laut[6]. Sebuah analisis terbaru dari International Energy Agency (IEA) tahun 2016 bahkan memperkirakan, polusi udara bertanggung jawab atas kematian dini 60 ribu orang di Indonesia[7]. Pencemaran berat juga melanda Sungai di Mataram, baku mutu air sungai mencapai 318 MPN, per 100 mililiter[8].
Esai ini terilhami oleh pertanyaan tentang bagaimana hutan dapat ditempatkan sebagai pemeran utama perbaikan lingkungan?
Telah bertahun-tahun, hutan merupakan sumber perikehidupan. Konon, manusia purba, melangsukan hidupnya dengan berburu dan meramu hasil hutan. Lalu, mengapa seiring perkembangan kecerdasan manusia, dunia semakin keruh dan menurun kualitasnya? Kita hanya akan membahas dari satu aspek saja, yaitu maksimalisasi potensi hutan untuk kemakmuran bangsa dengan asumsi bahwa faktor lain dinyatakan ideal[9].
Di era 1900-an, pemanfaatan hasil hutan berfokus pada kayu. Beberapa penelitian mengungkapkan multlipier effect[10] dari hutan sebagai forest pharmachy (jamu dan obat dari hutan),  forest healing (konsep penyembuhan, terutama secara psikologis, di hutan), dan penyangga siklus hidro-orologis. Potensi-potensi ini akan terus berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dengan demikian, pengembangan hutan merupakan hulu dari penyelesaian masalah yang akan menjadi jalan keluar permasalahan multidimensi dan perbaikan lingkungan.
Maksimalisasi hutan yang difokuskan dalam tulisan ini memandang hutan dari aspek ekologi dan sosial. Resiliensi kedua aspek tersebut diharapkan membawa kesejahteraan kolektif bagi Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Untuk mengarusutamakan kedua aspek tersebut, terdapat tiga komponen penting yang terlibat. Pasal 33 UUD 1946 mengindikasikan campur tangan pemerintah dalam pengelolaan SDA untuk kemakmuran rakyat[11]. Kedua, peran akademisi menjadi penting terutama dalam pengembangan IPTEKS dan penyiapan SDM berkompeten. Ketiga, sebagai negara yang rakyatnya berdaulat, keterlibatan rakyat merupakan komponen penting. Dua aspek yang difokuskan dan tiga komponen penggerak adalah satu kesatuan sistem dalam memberikan stimulus terhadap hutan Indonesia. Stimulus ini berfungsi memaksimalkan potensi-potensi Indonesia sebagai negara berhutan yang masyarakatnya tinggal di dalam hutan dan memperoleh manfaat dalam interaksinya dengan hutan.
Ada beberapa kasus nyata untuk membuktikan resiliensi kedua aspek tersebut dengan melibatkan tiga komponen penggerak, seperti pembuatan Hutan Tanaman Industri dengan rekayasa mikroiklim untuk merangsang pertumbuhan liken sehingga dapat dijadikan sebagai ekowisata liken. Hasil karya Program Kreativitas Mahasiswa IPB[12] untuk menyadarkan masyarakat mengenai lingkungan merupakan kombinasi komponen akademisi dan masyarakat dengan pemerintah sebagai penyelenggara. Hal menarik selanjutnya adalah usaha Pemerintah Kabupaten Gresik dalam mencegah Pencemaran Lingkungan, yaitu dengan meluncurkan Aplikasi Go Ploong (Go Pelayanan Limbah Domestik Online Gresik)[13]. Resiliensi sosial dan ekologi yang berdampak signifikan bagi peningkatan ekonomi telah dibuktikan beberapa taman nasional, seperti Taman Nasional Gunung Ciremai. Manajemen BTNGC melalui ruang kelola ekologi telah menghasilkan peningkatan ekonomi, pada tahun 2017, sebesar Rp. 33.974.511.000,-[14]. Dengan adanya  variasi manfaat tersebut, penebangan pohon dapat ditekan dengan ekowisata hutan (forest healing and jamu), berlubangnya ozon di troposfer berkurang seiring berkurangnya penebangan dan volume penyerapan karbon meningkat. Kemudian sedimentasi, erosi, dan banjir secara logis berkurang seiring berkurangnya tekanan terhadap hutan[15]. Akhirnya, setiap masalah berpotensi mendapat solusinya masing-masing. Penyelesaian masalah di hulu serta pemberian stimulus untuk mewujudkan solusinya adalah kunci keberhasilan. Secara singkat, perlu dipertegas dan diperjelas, bahwa kekuatan tiga komponen penggerak hutan sangat penting untuk memberikan stimulus dalam aspek ekologi dan sosial. Sebagai kawasan yang secara politis dikuasai negara, political will pemegang kekuasaan dalam pengelolaan hutan harus lurus, tidak boleh ada ego sektoral adalah kunci keberlangsungan sistem ini. Keterlibatan, objektivitas, dan tekad akademisi dalam mengembangkan IPTEKS kehutanan adalah kunci kemajuan sistem. Sedangkan,  kesadaran masyarakat atau rakyat semesta merupakan kekuatan utama dalam merawat, menjaga, dan memanfaatkan hutan.
Paparan fakta dan pemikiran di atas menguatkan hipotesis hutan sebagai pangkal penyelesaian masalah kemanusiaan dan ekologi sekarang. Keberadaan hutan akan dihargai seiring manfaat hutan yang kongkrit bagi setiap komponen penggerak dan melingkupi dua aspek utama yang dijabarkan, yaitu ekologi dan sosial. Resiliensi aspek sosial dan ekologi dengan sinergisme antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dapat mewujudkan kelestarian alam dan kemakmuran Indonesia sesuai mandat para founding father dalam menguasai sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.



[1] MacKinnon (1997) dalam FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch
[2] Lihat Eghenter C, Putera MH, dan Ardiansyah I (ed). 2012). Masyarakat dan Konservasi 50 Kisah yang Menginspirasi dari WWF untuk Indonesia. WWF-Indonesia.
[3] Penggalan lirik Lagu Wajib Nasional berjudul Kulihat Ibu Pertiwi.
[4] Maksudnya asumsi-asumsi yang tidak berdasar fakta, lemah bukti, dan acapkali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
[5] Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup.
[6] Dikutip dari laman detik.com. Tersedia pada: https://news.detik.com/berita/d-3707145/demo-di-balai-kota-dki-massa-nelayan-soroti-pencemaran-air-laut
[7] Dikutip dari laman liputan6.com. Tersedia pada: http://global.liputan6.com/read/3132737/peneliti-62-ribu-warga-indonesia-tewas-akibat-polusi-udara
[8] Dikutip dari laman kicknews.today. Tersedia pada: https://kicknews.today/2017/10/24/air-sungai-di-mataram-masuk-pencemaran-berat/
[9] Semua faktor mendukung kemajuan, seperti kebijakan dan peraturan yang sehat, clean government, dsb.
[10] Diterjemahkan secara bebas sebagai hasil kali pertambahan tiap pos pendapatan. Penulis menerjemahkan sebagai “variasi manfaat”.
[11] Tulisan Dr. Budi Riyanto berjudul Potret Kebijakan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[12] Pada tahun 2017, enam PKM-M penyadartahuan masyarakat didanai oleh DIKTI.
[13] Dikutip dari laman gresiknews.com. Tersedia pada: http://gresiknews.co/2017/11/cegah-pencemaran-lingkungan-pemkab-gresik-luncurkan-aplikasi-go-ploong/
[14] Pemaparan Kepala BTNGC dalam Lokakarya “Adipraktis Manajemen Kawasan Konservasi di Indonesia, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Makalah yang disajikan berjudul “Merubah Masalah Menjadi Berkah di Taman Nasional Gunung Ciremai”.
[15] Infilstrasi tanah berkurang seiring berkurangnya aktivitas alat pemanenan di hutan (Bahan Ajar Mata Kuliah Pemanenan Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB)

1 komentar: